Tepat Dua puluh tahun berlalu sejak tragedi memilukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah yang merenggut 157 nyawa. Warga-warga Kampung Adat Cireundeu menggagas kegiatan peringatan setiap tanggal 21 Februari dengan beberapa rangkaian, yaitu (1) Nyokot cai yang berarti pengambilan air dari titik longsor TPA Leuwigajah, kegiatan ini dilaksanakan sehari sebelum peringatan, (2) Pada hari peringatan dilaksanakan doa bersama untuk korban tragedi, (3) Sambutan dari Sesepuh Adat Kampung Adat Cireundeu, dan dilanjutkan dengan workshop pemilahan sampah dan kegiatan pertunjukan kesenian, kemudian ditutup dengan, (4) Tabur bunga di lokasi titik awal longsor.

UPT Kebudayaan UPI turut menghadiri Peringatan Dua Dekade Tragedi TPA Leuwigajah 21 Februari 2005, dari mulai rangkaian pertama nyokot cai yang dilaksanakan sehari sebelum hari peringatan sampai hari peringatannya, isi kegiatan nyokot cai dilakukan Sesepuh Kampung Adat Cireundeu dengan beberapa warga yang masing-masingnya membawa karinding, celempung, dan lodong yang diisi dengan bunga Andong. Kegiatan ini memiliki aturan mewajibkan seluruh orang yang berangkat ke Sirah Cai di titik awal longsor melepaskan alas kaki dari awal daerah hutan, hal ini memiliki filosofis bahwasanya hutan adalah Ibu yang tidak mengandung umat manusia jadi jangan ada sekat atau penghalang antara Anak dan Ibunya. Sesampainya di Sirah Cai dibuka dengan menyiapkan sesaji sebagai syarat doa pembuka yaitu Rajah yang diiringi dengan musik dari karinding dan celempung, kemudian dilanjut dengan sambung rekes dari para Sesepuh sebagai perwakilan dari seluruh warga Kampung Adat Cireundeu untuk menyampaikan doa dan harapan, lalu ditutup dengan para Sesepuh menanamkan bunga hanjuang/Andong di sekitar sirah cai. Pada hari peringatan diisi dengan doa bersama untuk korban tragedi, sambutan dari Sesepuh Adat Kampung Adat Cireundeu, dilanjutkan dengan workshop pemilahan sampah dan pertunjukan kesenian, kemudian ditutup dengan tabur bunga di lokasi titik awal longsor.
Dari uraian di atas terlihat bahwa masyarakat Sunda khususnya disini di Kampung Adat Cireundeu cukup mensakralkan Leuweung atau hutan dalam kehidupan, Abah Widi selaku salah satu Sesepuh mengemukakan bahwa “Mimitina ge leuweung nya pasti balik deui jadi leuweung, tapi ulah jadi nyieun urang poho ka dulur-dulur urang nu jadi korban didieu” yang artinya kurang lebih “Pada awalnya hutan pasti kembali menjadi hutan, tapi kita jangan melupakan saudara kita yang menjadi korban disini”